Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Feminisme Liberal dalam Novel Belenggu karya Armijn Pane

Selasa, 27 Mei 2025 20:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Novel Belenggu
Iklan

Belenggu merupakan novel yang dituis oleh Armijn Pane. Selain membahas kisah cinta novel ini juga membahas tentang kesetaraan perempuan

Isu tentang perempuan telah lama menjadi salah satu topik yang diangkat oleh para pengarang dalam karya sastra mereka. Sejak puluhan tahun silam, baik disadari maupun tidak, para pengarang telah menyoroti persoalan perempuan. Salah satu contohnya adalah Armijn Pane melalui novelnya yang berjudul Belenggu. Novel ini merupakan salah satu contoh karya sastra yang telah membahas persoalan perempuan sejak lama.

Meskipun diterbitkan bertahun-tahun yang lalu, namun isi cerita dalam novel ini masih sangat relevan dengan berbagai permasalahan perempuan yang terus berkembang hingga kini. Secara khusus, isu perempuan yang diangkat dalam novel ini berkaitan erat dengan pemikiran feminisme liberal.

Secara umum, tujuan feminisme liberal adalah menciptakan masyarakat yang adil dan peduli, serta memberi ruang bagi kebebasan dan berkembang. Feminisme liberal menitikberatkan pada kesetaraan hak dan peluang antara laki-laki dan perempuan di ranah publik, terutama melalui mekanisme hukum, pendidikan, dan politik. Feminisme liberal meyakini bahwa ketimpangan gender dapat dikurangi apabila perempuan memperoleh akses yang sama terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Feminisme yang terdapat dalam novel ini sesuai dengan pandangan feminisme liberal yang menginginkan kebebasan individu. Hal ini tergambar dari pemikiran Tini yang disampaikan kepada Nyonya Rusdio. “Memang Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut pendapat Ibu, kemauanku mesti tunduk kepada kemauan suamiku. Bukan Ibu, bukankah demikian? Kami masing-masing berkemauan sendiri-sendiri.”(Pane,2010:53).

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa Tini memiliki cara berpikir yang lebih moderndi bandingkan dengan perempuan pada umumnya. Ian tidak sependapat dengan nyonya Rusdio yang beranggapan bahwa perempuan seharusnya tidak  berpergian sendiri tanpa didampingi oleh suaminya. Tini menentang pandangan tersebut dan berpendapat bahwa jika seorang suami bebas berpergian tanpa istrinya, maka istri pun berhak melakukan hal yang sama.hal ini ditegaskan dalam ucapannya.

“Kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hatiku?”(Pane,2010:53). Kutipan tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa Tini ingin mempunyai hak sama dengan laki-laki dalam hal memperoleh kesenangan. Ketika suaminya tidak dapat menemaninya pergi, maka Tini memutuskan untuk pergi seorang diri. Hal ini dilakukan Tini karena Tono sebagai seorang dokter sangat sibuk mengurusi pasiennya sehingga tidak sempat menemani Tini bepergian.

Secara tegas Tini mengatakan: “Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki” (Pane,2010:53). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa tokoh perempuan tidak ingin bergantung kepada laki-laki. Tokoh perempuan berkeinginan dapat menentukan nasibnya sendiri, berdiri di atas kaki sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh perempuan menghendaki adanya kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas seperti laki-laki sehingga dapat mengembangkan kemampuannya. Siikap Tini merupakan bentuk penolakan terhadap pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhuk yang tidak rasional, sementara laki-laki dipandang sebagai makhluk yang rasional. 

Pemikiran feminis dari tokoh Tini terlihat juga dalam isi surat yang ditulisnya untuk temannya. ”…Aku bingung Yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu?” (Pane,2010:71). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Tini mempunyai keinginan untuk dapat menentukan arah hidupnya sendiri berdasarkan keinginannya bukan kehendak orang lain. Ia tidak ingin menekan keinginannya, melainkan berusaha mewujudkannya, meskipun hal tersebut bertentangan dengan pemikiran yang ada pada masyarakat. 

Selanjutnya, Tini juga membuat keputusan yang mengejutkan banyak orang. Ketika dia mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain bernama Yah, Tini memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Keputusan ini memperlihatkan bahwa Tini mampu mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada pria dan memilih mengabdikan hidupnya untuk mengurus rumah yatim piatu di Surabaya. Keputusan yang diambil Tini, sesuai dengan pemikiran feminsme liberal bahwa perempuan dapat menentukan pilhannya sendiri.

Dalam konsep feminis liberal, keputusan Tini berpisah dari suaminya merupakan pilihan yang lebih baik daripada mempertahankan hubungan yang sudah tidak harmonis. Selain itu, Tini juga sudah mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari keputusannya itu, termasuk kemungkinan menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Meski demikian, ia tetap teguh pada keputusannya dan siap menanggung resikonya.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syifa Ahmalya

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler